BAB I
PENDAHULUAN
Komunitas Adat Terpencil merupakan salah permasalahan kesejahteraan sosial di negara ini yang menjadi permasalahan yang perlu di perhatikan oleh semua pihak. Komunitas adat terpencil di Indonesia masih cukup besar dimana letak geografis mere relatif sulit dijangkau serta kehidupan sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik jika di bandingkan dengan warga negara lainnya. Mereka semua merupakan warga negara yang sebenarnya juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Berdasarkan data dari Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada tahun 2008 terdapat 229.479 kk yang tersebar pada 246 kabupaten, 852 kecamatan, 2.037 desa dan 2.650 lokasi pemukiman di 30 provinsi dimana dari sekian banyak warga komunitas adat tersebut terdapat 140. 594 KK (68,68%) warga KAT yang belum diberdayakan dan yang sedang dalam proses pemberdayaan pada tahun 2009 sebanyak10.301 KK (4,92%), sementara yang sudah di berdayakan sebanyak 78.584 KK (26,21%)
Komunitas Adat Terpencil menjalani kehidupan dengan kearifan lokal dan kekhasan yang mereka miliki sehingga mereka mudah dibedakan dengan masyarakat yang relatif lebih maju. Adapun karakter masyarakat KAT yaitu
a. Berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup dan homogen
b. Organisasi sosial atau pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan (bersifat informasi dan kental dengan norma adat)
c. Pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial budaya dengan masyarakat yang lebih luas
d. Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub sistem (berburu dan meramu, peladang berpindah, nelayan dan kombinasi di antaranya)
e. Peralatan dan teknologinya masih sangat sederhana
f. Ketergantungan pada lingkungan dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi
g. Terbatasnya akses pelayanan sosial dasar
Salah satu komunitas adat yang berada di Indonesia adalah Komunitas To Lanbatu yang bagi masyarakat daerah kabupaten Luwu Sulawesi Selatan merupakan komunitas yang berdiam di kawasan sungai Lamasi di sekitar perbatasan Kabupaten Luwu dengan kabupaten Tana Toraja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak lokasi dan kondisi geografis Komunitas To Lanbatu
Komunitas To Lanbatu bermukim pada dua kawasan desa yaitu Desa Ilanbatu dan Ilanbatu Uru. Sebelum pemekaran pada tahun 1992 kedua desa itu di sebut desa Ilanbatu dimana desa ini berbatasan dengan:
- Sebelah Barat berbatasan dengan desa Lilikira dan Desa Balusu Kecamatan Sesean Kabupaten Tana Toraja
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lumpe dan desa Sangtanduk kecamatan Lamasi
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Batusitanduk Kecamatan Walenrang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tombang Kecamatan Sesean Kabupaten Tana Toraja.
Jarak antara lokasi dengan pemukiman terdekat dengan dari pusat desa khususnya Desa Ilanbatu sejauh 1 Km dengan jarak terjauh dengan pemukiman warga terjauh 23 Km. Seluruh pemukiman warga ini hanya dapat di gtempuh dengan cara berjalan kaki menyusuri jalan- jalan setapak, menyeberangi sungai- sungai besar dan kecil, jalan menurun dan mendaki serta menyusuri gunung- gunung lereng bebatuan.
Dari pusat desa Ilanbatu dan Ilanbatu uru ke pasar Batusitanduk masing- masing berjarak 9 dan 17 Km. Sedangkan untuk ke Ibu kota kabupaten yaitu palopo berjarak 30 dan 47 Km dan untuk perjalanan ke Ibu Kota Provinsi yaitu kota Makssar di tempuh sejauh 396 Km dan 413 Km dengan waktu tempuh kurang lebih selama 11 jam dan di tempuh dengan kendaraan roda dua yang kemudian dilanjut dengan kendaraan roda empat.
B. Interaksi Manusia Dengan Lingkungan Hidup
Lingkungan merupakan suatu kesatuan ruang dimana terdapat semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Benda, daya dan keadaan adalah aspek Geofisik lingkungan seperti iklim, fisiografi, hidrologi, ruang lahan dan tanah. Mahluk hidup selain manusia adalah aspek biotis lingkungan termasuk komponen flora dan fauna, sedangkan prilakunya termasuk aspek sosial ekonomi dan aspek sosial budaya yang mencakup demografi, aktivitas sosial baik di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Masalah lingkungan muncul sebagai suatu masalah disebabkan karena adanya dinamika penduduk, pemanfaatan dan pengelolaan sumber yang kurang baik, pemanfaatan ilmu pengetahuan yang kurang terkendali dan adanya permasalahan lokasi dan tata ruang. Sehingga menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung dan kualitas lingkungan seperti semakin berkurangnya jumlah hutan, beban sedimen dan erosi tanah meningkat, sistem atmosfer telah terganggu dan menurunnya keberegaman dan jumlah dari flora dan fauna. Dengan semakin banyaknya kerusakan lingkungan yang di akibatkan oleh manusia seharusnya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya di fokuskan pada nilai ekonomi semata melainkan juga di fokuskan pada kesimbangan ekosistem sumber daya alam yang dieksploitasi tersebut.
1. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Suku To Lanbatu
Komunitas To Lanbatu yang mendiami kawasan daerah aliran sungai Lamasi bagian hulu bermukim secara terpencar, berkelompok, dan terisolasi secara geografis dari masyarakat umum di desa, serat memiliki pengetahuan yang sangat terbatas. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya alamnya juga terbatas. Secara tidak langsung, tingkat pengelolaan yang rendah dan bahkan dapat mengarah kepada tingkat desktruktif seperti eksploitasi berlebihan dan tidak mengarah pada perlakuan yang sifatnya konservatif.
Adapun pemanfaataan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi mereka dapat di gambarkan sebagai berikut:
1. Alam Flora dan Fauna
a. Flora
Suku To Lanbatu mendiami daerah sepanjang aliran sungai Makomun, Kowi, Bangun, Manyampu, Simbuang, Taboro, Bamban, Tana, Makun, Nangka, Tuluron, Lamasi dan beberapa anak sungai lainnya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat To Lanbatu satiap saat berinteraksi dangan flora dalam arti tumbuhan yang ada di lingkungan sekitarnya karena mereka hidup di sekitar hutan dan asing dari masyarakat lain di pusat desa. Mereka mamanfaatkan flora melalui sistem pemungutan secara langsung dari hutan yang lumbuh secara alami, seperti kayu yang dijadikan bahan ramuan dan paralatan rumah mereka, sumber makanan seperti sagu (tabaro), umbi rambat (sikapa), dan sayuran seperti paku- pakuan, jamur (tambatan), rebun (rabun), dcka-doke, kapola, bunangko, larian, nippon, tambungin dan pokko. Bahan makanan ini umumnya tidak di manfaatkan lagi sekarang karena sumber daya tersebut sudah sangat langka dan sangat jarang di temukan kecuali sagu.
Sagu sabagai bahan pangan dapat barsumber dari pohon rumbia dan enau.Komoditas ini dimanfaatkan oleh To Lanbatu malalui suatu proses sacara berturut- turut adalah mengamati pohon yang memiliki produksi tepung tinggi dan di tandai oleh adanya serbuk putih pada pangkal pelepah atau menusukkan kayu kedalam batang lalu di putar dan di tarik keluar. Apabila ada serbuk tepung yang melengket pada kayu tersebut, menandakan produksi tepung batang tersebut tinggi. Selanjutnya pohon ditebang dangan menggunakan kampak dan di potong dangan parang sekitar 1,5 meter panjangnya, dan dibelah manjadl dua bagian. Isi batang dipukul—pukul dengan kayu (sambe) sampai halus dan salanjutnya diperas di atas koang (wadah penampungan tepung dari kulit kayu). Untuk memperoleh hasil tepung yang bersih, maka hasil perasan ditapis dangan menggunakan serat pambalut batang kelapa, Di koang, tepung didiamkan selama 24 jam agar diperoleh endapan tepung yang sampurna. Airnya dibuang dan tepung di balabba (alat kemas dari daun sagu). Setiap kemasan memiliki berat yang bervariasi sakitar 5—2O kg. Pekerjaan peramuan ini sudah jarang lagi ditemukan pada To Lanbatu karana telah terjadi pergeseran pamanfaatan manjadi produksi nira.
Penyadapan nira merupakan salah satu sumber mata pancaharian To Lanbatu yang diwariskan oleh leluhurnya dan mempunyai prospek yang baik. Pekerjaan ini dimulai dari pengamatan pada pohon enau yang tumbuh alami dan telah keluar mayangnya sebagal isyarat bahwa pohon tersebut sudah Iayak untuk disadap. Salanjutnya tandang mayang dlpukul pukul agar pambuluh xilem dapat dangan mudah malakukan cairan (nira). Untuk memperoleh hasil nira yang banyak maka mereka memukul·mukuI setiap selang 3 hari sebanyak 7-10 kali, kemudian tandan dlpotong pada pangkal tangkai buah. Ujung potongan tersebut merupakan tempat keluarnya nira. Oleh karena itu pada ujung potongan, nira ditampung dengan menggunakan bambu, panjangnya satu ruas. Hasil nira di pungut setiap pagi dan sore hari. Agar proses keluarnya nira tetap lancar, maka setiap kali panen juga dilakukan pengirisan pada ujung tandan. Setiap tandan biasanya disadap sekitar 5-7 bulan dan setiap pohon dapat menghasilkan 10 tandan mayang.
Pada perkembangannya, To Lanbatu mengenal adanya sistem budidaya pada beberapa komoditl pangan sepertl padi (pare), jagung (dalle), ubi kayu(battawe) ubi jalar (dora’). Komoditi tersebut merupakan warisan dari leluhurnya sehingga baik asal usul maupun waktu mulainya diperkenalkan tidak diketahui. Kemudian pada perkembangan lebih Ianjut, mereka memperkenalkan lagi beberapa komoditi pada ladangnya seperti pisang (punti), mangga (pao), durian, rambutan, pepaya (kaliki), kelapa (kaluku), Iangsat (Iasa’), ketapi dan sirsat (srikaya). Tanaman tersebut juga termasuk komuditi yang diwariskan oleh leluhurnya. Adapun proses masuknya komoditi tersebut sabagai upaya adaptasi komunitas To Lanbatu dangan masyarakat lain disekitarnya.
Komoditi budldaya tersebut dimanfaatkan sebagai bahan pangan, baik sebagai sumber makanan pokok maupun sebagai bahan selingan. Sekitar tahun 70an mereka memperkenalkan lagi tanaman kopl (kawe) dan tanaman cengkeh. Kemudian tanaman kakao dl lntrodukslkan pada tahun 1992. Komoditi-komoditi tersebut dlbudidayakan oleh masyarakat setempat dalam bentuk perladangan.
Pengelolaan perladangan To Lanbatu berdasarkan pengatahuan yang di peroleh dari leluhurnya dan adanya upaya adaptasi dengan masyarakat di sekitarnya , balk penduduk yang keluar maupun yang datang pada daerah tersebut. Pada lahan yang merupakan miliknya, dipilih yang subur untuk diolah menjadi ladang. Adapun sasaran utama perladangan mereka adalah tanaman padi, sehingga komoditi Iainnya hanya merupakan pelengkap saja.
Adapun sistem pengelolaan perladangannya secara berturur-turut adalah survey, penebangan pohon, pembabatan, pemberslhan, penanaman, pemeliharaan dan panen. Secara rinci dapat digambarkan sabagai berikut :
- Survey (massasa), merupakan tahap awal apablla ada anggota yang berminat membuka ladang. Sebagai Iangkan awal mereka mengamati lahan yang subur. Kriteria tanah yang subur adalah warnanya agak kehitam - hitaman. Analoginya bahwa tanah yang demikian banyak mengandung unsur hara yang dapat menyuburkan tanaman dan mendukung produksi yang tinggi. Alternatif Iain adalah mengamati vegetasi yang tumbuh diatasnya. Apabila pertumbuhannya subur merupakan suatu indikasi bahwa tanah tersebut memiliki potensi produksi yang tinggi. Selanjutnya mereka menetapkan sebagai suatu Iahan olah dengan cara membabat sekitar 4 m2 sebagai isyarat adanya rencana pengolahan pada tempat tersebut, kemudian diinformasikan ke anggota masyarakat lain mengenai rencana pengolahannya serta batas-batas luar yang akan diolah dengan menggunakan isyarat pohon tertentu seperti dengen, bambu, bitti, asa atau batu- batu besar serta sungai kecil yang mudah dikenal.
- Penebangan (malelleng], merupakan kegiatan tahap kedua, Semua pepohonan yang tumbuh di dalam areal rencana perladangan ditebang. Penebangannya di mulai dari kayu- kayu kecil, kemudian dilanjutkan pada pohon yang besar dengan menggunakan kampak (oase) dan parang (la’bo). Pekerjaan ini dilakukan secara berkelompok sekitar 5 orang yang dikenal dengan sistem arisan. Termasuk pengangkutan kayu batas luar Iahan olah. Renge waktu pekerjaan ini biasanya 4-5 minggu, dilakukan sekitar bulan Agustus.
- Membabat (mabela), dilakukan setelah selesai penebangan terhadap semak belukar yang masih tersisa pada Iahan olah. Pekerjaan ini biasanya berlangsung sekitar 4 minggu, pada bulan September- Oktober.
- Pembersihan (massarrin), dilakukan dengan membakar kayu hasil babatan yang sudah kering, kemudian dilanjutkan membuang rumput yang masih tumbuh di dalam areal kebun. Pekerjaan ini biasanya dilakukan pada bulan Nopember.
- Penanaman. Pelaksanaan penanaman dilakukan pada dua bentuk yaitu tumpangsari dan kebun campuran. Tanaman padi di tanam bersama Iombok, jagung, labu, pare dan kakao dalam bentuk tumpangsari. Penanaman dimulai pada saat ada instruksi dan bunga Ialang (pa'lontara). Sebagai petunjuk mangenai waktu mulai bertanam adalah berdasarkan formasi gugusan bintang di atmosfer. Apabila gugusan bintang tersebut membentuk formasi yang mirip dengan orang yang sedang memikul (ma 'lempa) atau mirip dengan ayam yang sayapnya terkulai ke bawah, dianalogikan bahwa padi yang di tanam segera setetah kejadian tersebut produksinya tinggi. Keadaan tarsebut umumnya terbentuk disekitar bulan desember- januari. Hal ini sesuai dangan pola hujan pada daarah tersabut, intensitas hujan tinggi pada bulan Pebruari — Maret dan mulai manurun pada bulan April. Dengan demikian meraka panen pada bulan April — Mei karana menggunakan varietas lokal. Padi ditanam Iebih duluan, kemudian disusul dangan tanaman lainnya seperti jagung dengan menggunakan tugal. Tanaman lombok dan kakao terlebih dahulu disemaikan, sadangkan tanaman Iain dipungut langsung pada anakan yang tumbuh alami dilingkungan sakitarnya. Jarak tanam padi sejangkal (sekitar 25 cm), jagung dan lombok salangkah (sekitar 80-100 cm) dan kakao barjarak tiga Iangkah (sakitar 2,5 - 3 m), sadangkan tanaman lainnya di tanam tanpa menggunakan jarak tanam tertentu, mereka menanam disekitar tunggal akar dan batu-batu besar seperti Iabu dan pare.
Pada tanaman mangga, papaya, ubi kayu, ubi jalar, nangka, kalapa, durian dan tanaman Iainnya di tanam dalam bantuk kabun campuran, tanaman tersebut jumIahnya tarbatas dan mareka mananamnya pangan pelengkap.
Pemeliharaan, merupakan sarah satu tindakan untuk mandapatkan produksi yang tinggi dengan cara panyiangan dan pengendalian hama. Panyiangan dilakukan tarhadap rumput-rumput yang tumbuh diantara tanaman mereka. pelaksanaannya sakitar satu bulan setelah tanam padi dengan menggunakan sabit (kaje) dan pada saat padi mamasuki fase pertumbuhan generatif dangan mencabut Iangsung rumput yang tumbuh pada saluruh areal perladangannya.
Pengendalian hama seperti babi, rusa, karbau dan sapi manggunakan pagar yang terbuat dari kayu hasil tebangan, disusun sampai pada katinggian sekitar 1,5 meter, sadangkan hama burung dikendalikan dengan manggunakan babero atau 1 pajo- pajo yang tarbuat dari bambu dan dihubungkan dangan tali. Cara penggunaannya, apabila ada burung yang menyerang, maka tali ditarik agar bambu yang ada ditangah Iadang bargoyang-gcyang sehingga burung tarbang.
Panen, marupakan kegiatan pamungutan hasil. Pada umumnya To Lanbatu memanen hasil tanaman budidaya dengan cara yang sadarhana, pada tanaman padi dipanen dangan cara memisahkan bulir dari rumpunnya kamudian ditarik sampai tarpisah. Namun pada parkembangannya telah rnanggunakan ani—ani.
Adapun jadwal panen babarapa komoditi yang dipsroleh dari PRA adalah sebagai barikut :
Komoditas | Perkiraan Panen |
- Padi - Durian - Lombok - Kopi - Jagung - Langsat - Rambutan - Kakao | Desember- Januari Februari Desember – Januari Juli – September Desember – Januari April – Mei Januari – Februari Februari – Maret |
Pada tanaman lainnya seperti pisang, ubi kayu dan sayur - sayuran dapat dipanen satiap saat dimana mereka membutuhkannya, sedangkan kakao dipanen setiap dua minggu.
Pengangkutan hasil. Pada kagialan ini, To Lanbatu baik pria maupun wanita secara barsama—sama melakukan pangangkutan. Pria melampa dan wanita marengnge. Pada hasil panen padi pengangkutannya dilakukan secara bergiliran diantara anggota masyarakat sakitar 5 orang yang dikanal dengan istilah arisan sedangkan komoditi lainnya diangkut secara individu. Banyaknya hasil yang diangkut tergantung kemampuannya dan biasanya mereka mangangkut hasil yang dibutuhkan pada saat itu saja. Adanya kesulitan pengangkutan produksinya menyebabkan jumlah dan Iuas lahan yang ditanam pada komoditi selain padi menjadi terbatas
Hasil padi diangkut ke rumah dan disimpan pada lumbung, jagung disimpan pada rakkeang, sedangkan yang lainnya Iangsung dimanfaatkan sebagai konsumsi rumah tangga atau dijual ka pasar.
Adapun flora tersebut di atas yang dimanfaatkan oleh To Lanbatu dapat dikelompokkan ke dalam flora yang sifatnya sebagai pangan utama, sebagai pangan selingan, sebagai sayuran dan penyedap, sebagai ramuan dan peralatan dan sebagai komoditas ekonomi, secara rinci dapat digambarkan berikut ini :
Jenis Peruntukannya | Komoditi |
- sebagai pangan pokok - sebagai pangan selingan - sebagai sayuran dan penyedap - sebagai bahan ramuan dan peralatan - sebagai komoditas ekonomi | - Padi (pare), jagung (dalle), ubi kayu (battawe, ubi (dora’), ubi rambat (sikapa’), sagu (tabaro) - mangga (pao), durian, kelapa (kaluku), pepaya (kaliki), ketapi, sirsak, kopi (kawe), sukun batu (kamassi), langsat (lasa’), nangka, pisang (punti) - lombok (lada), tomat (lambace), terong (kattarung), pare (paria), labu (boje), kangkung (lara’), bayam (sompu’), jamur (tambatan), rebung (rabbun), doke= doke, kapole, bulu nakko, paku- pakuan, larian, nipon, dan tambungin. - kayu, bitti, bato, uru, cendana, pune, bentasu, purringan, dengen, lebani, parendengan, kole’, sangon, rotan, sagu, enau, bambu, cengkeh, kelapa, dan rotan - kakao, kopi (kewe), lombok, durian, labu (boje), gula merah, rotan (uwe). |
b. Fauna
Pada awal paradabannya, mereka memanfaatkan fauna yang nidup liar di hutan seperti rusa. Apabila ada anggota masyarakat yang pargi ke hutan mencari bahan pangan dan secara kebetulan menemukan binatang tersebut, maka dia Iangsung menangkapnya dengan menggunakan peralatan yang ada pada dirinya seperti parang.
Pada perkembangan selanjutnya dimana binatang dipandang suatu kebutuhan yang penting, maka cara berburunya pun meningkat dengan menggunakan tombak yang dibantu oleh anjing dan dilakukan secara barkelompok sekitar 3—4 orang yang disebut rnoasu. Cara Iain adalah menggunakan perangkap tali jerat yang dipasang pada jalur Ialulintas binatang liar tarsebut yang disebut masampan. Cara masampan inilah yang dikembangkan penggunaannya sebagai perlindungan binatang yang akan menyerang tanaman budidayanya dengan cara memasang tali jerat pada sekitar pagar yang disebut ma’taring
Sistem barburu dengan cara moasu dan ma’sampan sudah jarang dilakukan oleh To Lanbatu karena binatang buruan seperti rusa sudah Iangkah ditemukan pada hutan sekitar perladangan mereka. Sedangkan ma’taring tatap dikembangkan tarhadap babi yang sering merusak pertanamannya dan pada ayam hutan dan burung-burung Iainya.
Selain cara berburu tersebut di atas, To Lanbatu juga memanfaatkan fauna dalam bentuk pemeliharaan seperti karbau, sapi, ayam buras, itik dan ikan karper. Kerbau, ayam buras dan itik merupakan hewan warisan dan leluhurnya, sedangkan sapi dan ikan karper mulai dikembangkan sakitar tahun 1970—an. Sistem pameliharaan kerbau dan sapi sebenarnya belum dapat dikatakan hewan peliharaan karena hewan tersebut yang merupakan miliknya, dilepas begitu saja merumput pada Iahan dilingkungan sekitarnya, kecuali pada waktu-waktu tertentu sekitar satu bulan sekali. mereka memberinya makanan tambahan seperti garam. Perlakuan tersebut dimaksudkan agar hewan tersebut selalu kembali dan tetap akrab dengan majikannya. Jika sekiranya terdapat sengketa kepemilikan terhadap seekor hawan diantara mereka, maka diselesaikan melalui musyawarah. Pedomanpembuktian yang sering dipakai adalah model tanduk, palisu, adanya tanda khusus yang diberi pada waktu hewan masih kecil seperti sobetan kecil pada telinganya. Sedangkan ayam sebagai hewan peliharaan, bagi To Lanbatu terutama pada ayam jantan. Mereka rawat dengan baik sebagai ayam sabung.
Hewan air seperti ikan moa(masapi), udang (bonka), hidup liar pada perairan lepas. Apabila ada anggota masyarakat yang ingin mamanfaatkannya, maka yang bersangkutan menangkap Iangsung dengan menggunakan jaring (jala), pukat (puka) dan tombak. Sadangkan ikan karper dipelihara secara tersendiri pada kolam tatapi p0Ia pameliharaannya masih sederhana yaitu hanya membuatkan pematang yang dapat manampung air yang tingginya sakitar 50 cm tanpa memberi makanan tambahan. lkan tersabut terbiak sendiri pada kolam tanpa campur tangan pamiliknya.
Pada dunia burung yang sering dimanfaatkan oleh To Lanbatu adalah ayam hutan, burung pipit, tekukur dan belibis. Burung—burung tersebut ditangkap dengan menggunakan taring pada sekitar perladangan mereka. Kegiatan ini hanya merupakan sambilan yang dilakukan pada waktu-waktu senggang dan sekarang ini tidak lagi di jumpai adanya anggota masyarakat yang berburu burung-burung tersebut, karena disamping populasinya sudah barkurang, To Lanbatu juga sudah tidak senang dengan pekerjaan tersebut. Adapun fauna yang dimanfaatkan oleh To Lanbatu dapat dikelompokkan sebagai binatang buruan, hewan peliharaan, hawan air dan dunia burung. Secara rinci digambarkan berikut ini :
- Sebagai binatang liar, rusa (jonga), babi, monyet (seba), tikus (balao), dan ular sawah (sawa)
- Sebagai hewan peliharaan, kerbau (tedong), sapi, ayam buras (manuk tondok), itik dan ikan karper (karappe)
- Sebagai hewan air lepas moa (masapi), dan udang (bongko)
- Burung, tekukur (bu’ku), burung pipit (dongi), belibis dan ayam hutan (manuk lampung).
2. Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan
a. Pola pemilikan lahan
Sistem pertanian To Lanatu secara keseluruhan dapat disebut sebagai sistem perladangan, yang menyebabkan lokasi perumahan/ tempat tinggal dan usaha pertanian selalu berpindah pada suatu priode waktu tertentu. Adapun pola pemilikan lahan To Lanbatu sebenarnya hanyalah bersifat sebagai pola penguasaan. Oleh karena status hukum, baik yang barsumbar dari Ketua adat (Tomaka) maupun berdasarkan pada Pemerintah setempat balum mendapat pangakuan yang formal sacara sah. Luas dan Ietak areal untuk perumahan, ladang hanya didasarkan pada tanda panguasaan atas lahan tersebut, sehingga nampaknya masih sangat individual. Seorang anggota masyarakat di anggapnmemiliki suatu lahan apabila dia sedang manguasai lahan tersebut. Sebagai tanda penguasaan ditentukan olah adanya tindakan pengolahan pada lahan tersebut. Jika sekiranya pamiliknya sudah tidak mengolahnya lagi, maka hak atas lahan tersebut sudah barakhir. Namun karena sifat kakeluargaan yang sangat tinggi sehingga apabila ada anggota masyarakat lain yang ingin menggarap lahan tersebut, maka disampaikan kepada pemilik terdahulunya. Pada saat terjadi pangalihan pangolahan lahan tersebut, maka pemilikan atas lahan itupun akan beralih, kecuali tanaman tahunan yang ditanam oleh pamilik tardahulunya tetap menjadi milik orang yang mananamnya. Pola pengalihan hak demikian masih kurang terjadi pada To Lanbatu karena persediaan lahan masih cukup luas.
Apabila ada anggota masyarakat yang ingin memllikl lahan sebagai pengusahaannya, maka yang bersangkutan dapat memilih lahan yangbelum dimiliki olah orang lain baik untuk kepentingan perladangan maupun perumahan mereka.
Secara formal, bukti sah atas kepemilikan lahan mereka, belum didapatkan olah karena belum adanya rincik tanah atau bukti-buktl kepemilikan dari pemerintah setempat serta belum adanya biaya pajak atas kepemilikan lahan mereka.
b. Pola Panguasaan Lahan
To Lanbatu, dalam memenuhi kabutuhan hidupnya, beroriantasi pada perladangan untuk tanaman samusim seperti padi, jagung dan komoditi bahan pangan lainnya atau untuk kepentingan sasaat saja. Dangan demikian akan mempengaruhi pola panguasaan lahan mereka. Setiap mereka pindah mengolah lahan pada tempat lain, maka penguasaan atas lahan juga berpindah. Lamanya penguasaan lahan oleh seorang anggota masyarakat tergantung pada adanya tindakan pengelolaan yang dilaksanakan dan Iamanya berdiam pada lahan tersebut. Apabila anggota masyarakat tersebut sesudah meninggalkannya dalam artian berpindah membuka areal parladangan baru, maka hak atas penguasaan lahan tarsebut barakhir dan Iahan tarsebut menjadi milik kelompok masyarakat. Pangalihan panguasaan lahan dlantara mereka hanyalah bersifat parsetujuan dan belum dikenal adanya perpindahanpenguasaan karena transaksi jual beli. Hal ini tarjadi karana tingkal kabutuhan masyarakat masih barsifat subsistem yaitu pangelolaan Iahan bardasarkan kebutuhan pangan dalam waktu singkat.
Pada perkembangan terakhir, dimana tingkat pengetahuan masyarakat semakin berkembang karana proses adaptasi dengan masyarakat ditempat lain,maka mulai nampak adanya pergesaran pola pengalolaan sumberdaya. Pada awalnya hanya untuk kepantingan pangan utama, sakarang sudah mulai mengarah berorientasi kekomoditi yang mempunyai orientasi pasar yang baik.
3. Organisasi dan Kegiatan Ekonomi
Dalam kehidupan To Lanbatu, memanfaatkan sumbardaya alam untuk orientasi pasar belum nampak dalam skala yang Iuas. Sistem pemasaran hasil masih bersifat individual. Saliap anggota masyarakat yang ingin manjual hasil usahanya, mereka sendlri mambawanya kapasar terdekat. Baik jumlah maupun jenisnya yang akan dijual targantung pada kamampuan mamikul (malempa) atau mengusung (marengnge), karena jarak antara pemukiman meraka dangan bawaan disesuaikan dangan kabutuhan yang akan dibelinya.
Pada tiga tahun terakhir dimana jalur antara pasar dan pusat dasa sudah terbuka To Lanbatu dalam orientasi pamanfaatan sumberdaya mulai bergeser , komoditi yang mulanya hanya untuk kabutuhan kosumsi sekarang mereka jual. Hal ini marupakan indlkator adanya adaptasi yang Iebih Iuas terhadap masyarakat lain yang memiliki tingkat pangatahuan yang Iabih maju.
Adapun jenis- jenis komoditas yang bernilai ekonomi dalam artian sering di bawa kepasar atau di jual ke pedagang adala sebagai berikut:
Komoditas | Perkiraan harga |
- Lombok - Jagung - Ubi kayu - Ubi jalar - Labu - Kakao - Kopi - Durian - Rotan - Nira - Gula merah - Kerbau - Sapi - Ayam - Ikan kerper | Rp. 500 / liter Rp. 1.000 / 20 tongkol Rp. 2.000 / keranjang (20 buah) Rp. 2.000 / keranjang (30 buah) Rp. 400 / buah Rp. 3.000 / kg Rp. 3.500/ kg Rp. 1.000 / buah Rp. 200 / kg Rp. 250 / liter Rp. 1.500 / buah Rp. 1.000.000 – 3.000.000 / ekor Rp. 600.000 – 800.000 / ekor Rp. 4000 – 10.000 / ekor Rp. 3000 / kg |
Sedangkan pasar yang merupakan tempat masyarakat To Lanbatu sering melakukan barter adalah:
Lokasi / nama pasar | Waktu pasar | Jarak |
- Kec. Seseang Tana Toraja /karau - Kec. Sanggalangi Tana Toraja / Pondo - Kec. Walenrang Luwu / Batu Sitanduk | Setiap 6 hari Setiap 6 hari Sabtu- senin- rabu | 8- 15 km 5 – 8 km 9 – 16 km |
4. Pembagian Kerja dan Alokasi Waktu
a. Pembagian Kerja
Pembagian kerja dalam komunitas To Lanbatu, dimana peranan pria dan wanita dapat dikatakan sebanding kecuali pada pekerjaan tertentu seperti berburu, meramu sagu, menebang kayu, dan mendirikan rumah di kerjakan oleh pria, tetapi setelah penebangan, pekerjaan di lakukan secara bersama – sama bahakan wanita lebih berperan pada pekerjaan tertentu seperti penanaman, pemeliharaan dan panen.
b. Alokasi Waktu
Mengingat kebutuhan pokok To Lanbatu adalah pangan, maka alokasi waktu diberikan sebagian besar untuk berladang dengan bertanam padi, jagung, ubi kayu dan sayur- sayuran sebagai tanaman sampingan.
Kegiatan rutinitas mereka dapat di gambarkan sebagai berikut:
Perkiraan Waktu | Pria | Wanita |
- 05.00 – 07.00 - 07.00 – 08.00 - 08.00 – 12.00 - 12. 00 – 14.00 - 14.00 – 17.00 - 17.00 – 19. 30 - 19.30 – 21.00 - 21.00 – 05. 00 | Bangun pagi, mandi, minum kopi, sarapan pagi Menyadap nira Bekerja di ladang Makan siang dan istirahat Bekerja di ladang Mandi, makan malam, dan minum kopi Diskusi keluarga Istirahat | Bangun pagi, memasak, menyajikan pakan dan sarapan Memberi makan ayam dan mandi Bekerja di ladang Menyajikan makanan, makan dan istirahat siang Bekerja di ladang Mandi, mencuci, memasak, menyajikan makanan dan makan malam Diskusi keluarga Istirahat / tidur |
5. Sistem Bagi Hasil dan Tukar Menukar
a. Sistem Bagi Hasil
Sistem bagi hasil pengelolaan lahan sevara keseluruhan terbatas pada lahan persawahan yang merupakan milik yang berdiam dipusat desa, tetapi sangat kecil itupun sekarang tidak dilakukan lagi. Adanya cadangan lahan yang cukup luas menyebabkan sistem tersebut tidak berlangsung lama, tetapi pada kegiatan lain seperti panen mereka kembangkan hingga sekarang. Adapun sistem yang mereka gunakan adalah dengan membagi hasil panen 1:1 artinya separuh dari hasil panen mereka diserahkan kepada pemilik ladang tersebut.
Suatu hal yang menarik bahwa kagiatan ini saling bargantian diantara anggota kelompok masyarakat. Misainya si A yang panen pada minggu ini, dibantu oleh B, C, dan D, tetapi pada minggu salanjutnya si B yang malaksanakan panen, maka si A juga datang panen dengan sistam bagi hasil yang sama. Demikianlah seterusnya sampai anggota kelompok masyarakat seluruhnya selesai panen. Kegiatan lain yang menganut sistem bagi hasil adalah pangangkutan hasil nira yang berupa ballo’ (tuak) ke pusat desa. Sistem mereka adalah membagi nilai hasil penjualan antara pemilik nira dangan orang yang memilikinya (ma'lempa) misalnya nilai penjuala Rp. 10.000, maka pemikul diberi Rp. 5.000 atau saparuh dari nilai jual barang yang dipikulnya.
b. Sistem Tukar Menukar
Sistem tukar menukar pada To Lanbatu belum dikenal saperti pada masyarakat lain. Cara ini tidak terjadi karena setiap anggota masyarakat mengelolah sumberdaya yang hampir sama diantara anggota kelompoknya.
Kegiatan lain yang merupakan barter tidak Iangsung bagi mareka adalah pasar, karena tidak seorangpun anggota masyarakat yang pergi kapasar tanpa membawa barang jualannya untuk membali barang kebutuhan rumah tangga seperti minyak tanah ikan kering, garam, rokok dan lain—Iain. Mereka mambeli barang secukupnya sesuai dengan nilai panjualan barang jualannya.
6. Kearifan Lokal
Dalam kehidupan To Lanbatu mereka mengelola sumberdaya alam melalui sistem perladangan dengan pola perpindahan setiap satu musim tanam atau kali panen. Areal yang diolah berada pada kondisi topografi, rata di atas kelerengan 25 %. Lahan tersebut sangat rapuh sehingga diperlukan suatu tindakan yang mengarah pada pelestarian daya dukung Iahan secara berkesinambungan.
Sistem perladangan dengan pola perpindahan tersebut diatas, To Lanbatu mengannggap suatu kearifan. Analogi meraka bahwa dangan hanya memahami satu kali saja berarti secara tidak Iangsung memberi kesempatan pada Iahan tersebut untuk memulihkan dirinya. Sekiranya mereka menanami 2-3 kali, kemudian meninggalkannya, maka lahan tersebut Iebih kritis dan diperlukan waktu yang lebih lama untuk memulihkannya, bahkan dapat berubah menjadi padang rumput atau ilalang sehingga akosistem pada tempat tersebut tidak berubah. Tindakan Iain yang mangarah pada kearifan lingkungan adalah adanya sikap pemilihan terhadap Iahan yang akan digarap. Dengan hanya lahan subur saja yang menjadi pilihan, maka secara tidak Iangsung memberi kesempatan pada Iahan lain untuk mamulihkan dirinya. Demikian pula dengan sistem tunggal di harapkan agar erosi dapat dikurangi, panen dengan meninggalkan sebagian besar organ tanaman diharapkan dapat manjadi bahan organiik tanah.
Pola kebun campuran, tanpa manggunakan tata tanam dan jarak tanam yang teratur, secara tidak langsung manghalangi tumbukan butir hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan manghalangi proses evaporasi yang lebih besar karena tarnaungi oleh vegetasi. Dangan demikian dapat berfungsi sebagai hutan buatan walaupun Iuasnya terbatas.
Apabiia lahan garapan terjadi Iongsor, maka mereka meninggalkannya sampai kondisi Iahan tersebut pulih. Namun karana persediaan lahan masih cukup Iuas, maka meraka lebih mamilih lahan lain yang tidak longsor. Bahaya akan terjadi longsorjuga telah dipahami olah sebagian besar To Lanbatu, namun karena desakan kebutunan hidup mareka sehingga tarpaksa melakukan pengolahan lahan sampai pada kelerengan 45 % >.
Pada aspek Iain, dalam perikahidupan mereka mengenal adanya tempat tertentu yang tidak dimanfaatkan sumberdayanya karena dinilai sebagai lokasi pemukiman mahluk jin seperti di Lasaju dusun Bua(Luasnyakurang lebih 1 Ha) dan di Dadeko dusun Bolong (luasnya sekitar 5 Ha). Lokasi tersebut dianggap keramatdan apabila ada anggota masyarakat yang memasuki kawasan itu maka diperlakukan aneh seperti kehiiangan barang bawaan, kahilangan jejak bahkan menurut informasi bahwa pernah ada anggota masyarakat yang di panggil manyaksikan alam kahidupan jin tersebut.
7. Aspirasi dan Harapan
Tarbatasnya populasi tanaman potensial yang ditanam disebabkan karena sulitnya pengangkutan, sehingga jumlah barang yang dijual berdasarkan kemampuan mereka mengangkut dan jumlah kebutuhan barang yang akan di beli di pasar.
Adapun harapan-harapan mereka dambakan dalam rangka perbaikan pola hidup dan kesejahteraan adalah adanya komoditas unggul yang dapat di tanam seperti durian, rambutan dan kopi. Komoditas tersebut dapat menjanjikan harapan To Lanbatu karena nilai ekonominya tinggi dan pemasarannya dapat di arahkan ke kabupaten Tana Toraja. Tana Toraja dewasa ini kelihatannya pola perekonomiannya bergeser dari pertania ke pariwisata. Oleh karena itu pengembangan komoditi tersebut di harapkan dapat menunjang kebutuhan para pendatang di daerah Tana Toraja, tetapi hal ini harus didukung oleh jalur transportasi ke Tana Toraja.
Aspek lain yang di harapkan adalah informasi tentang teknologi budidaya yang baik dan pasca panen yang dapat mendukung kualitas produksi. Demikian pula dengan teknologi pembuatan gula merah dan informasi pasar, karena potensi sumberdaya ini sangat baik, dapat menghasilkan gula sekitar 1500 kg/ hari. Jika hal ini dikembangkan, maka mereka dapat memadukan dengan peternakan lebah. Dengan demikian dapat mendukung pelestarian hutan sepanjang daerah aliran sungai bagian hulu DAS Lamasi.
8. Pengetahuan Lokal
a. Tanda pergantian musim. Pergantian dari musim hujan ke musim kemarau ditandai dengan terbangnya lebah ke arah timur dan sebaliknya bila terbang ke arah barat dapat disertai angin kencang, maka hal itu pertanda akan tiba musim hujan.
b. Tanda panen berhasil dan tidak berhasil. Jika bintang- bintang berkumpul (borong – borong) sedemikian banyaknya, hal itu pertanda panen akan berhasil. Sementara bila terjadi pertengkaran antara orang tua dan anak muda atau terjadi pelanggaran yang memalukan dalam kampung antara muda- mudi, hal ini di percya sebagai penanda bahwa panen tidak akan berhasil.
Selain itu To Lanbatu juga memiliki pengetahuan budaya mengenai tanda – tanda bibit tumbuhan dan hewan yang baik yaitu:
1. Coklat (kakao). Biji coklat yang baik untuk di jadikan bibit yaitu biji cokalat yang bulat lonjong
2. Padi (pare). Bulir padi yang baik yaitu bulir padi yang berisi padat dan menguning di atas tangkai yang di ambil kemudian di keringkan
3. Jagung, Biji jagung yang baik untuk dijadikan bibit yaitu biji berbentuk bundar, tidak berkerut dan diambil Iangsung dari batangnya kemudian dikeringkan.
4. Karbau (tedong). Anak kerbau yang baik untuk dijadikan bibit peliharaan yakni anak karbau yang barasal dan induk yang gemuk dan memiliki susu yang besar. Induk yang damikian suka menyusui anaknya
5. Sapi. Anak sapi yang baik dijadikan bibit paliharaan yaitu anak sapi yang berasal dari induk yang memiliki ekor panjang, tarurai dan besar susunya
6. Kambing. Anak kambing yang balk untuk dijadikan bibit peliharaan yaitu berasal dari induk yang memiliki bulu yang bersih dan teratur karena makan dan dapat menyusui anaknya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Komunitas To Lanbatu mendiami suatu kawasan hutan dan barisan bukit pegunungan bagian barat kecamatan Walenrang di sekitar daerah aliran sungai Lamasi sampai di perbatasan Kecamatan Seseang dan Kecamatan Sande’ LangiKabupaten Tana Toraja. To Lanbatu mendiami dua desa yaitu desa Ilanbatu dan Ilanbatu Uru. Mereka hidup berpencar mengelompok dalam satu perkampungan yang di sebut Tondok. Mereka berjumlah 5031 jiwa, 1040 KK yang menghuni 226 bangunan rumah yang di klasifikasi dalam tiga kategori yaitu : Bantilan, Lantang dan Banua. Keberadaan mereka di kawasan itu menurut riwayat asal usul suku To Lanbatu merupakan cicit turun temurun manusia generasi pertama yang menghuni bumi Sawerigading. Mereka percaya mitos mula tau yang turun di Walenrang dengan pemukiman tertua di Gua Ilanbatu.
Interaksi manusia dengan lingkungan hidup di sekitarnya masih sangat erat hal ini dapat di lihat dari tingginya ketergantungan masyarakat dengan lingkungan. Masyarakat komunitas To Lanbatu masih sangat tergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan sumbar daya alam baik berupa Flora dan Fauna yang ada di kawasan tempat tinggalnya. Pola pemilikan lahan berupa penguasaan saja. Apabila ada anggota masyarakat yang ingin memiliki lahan sebagai penguasaannya, maka yang bersangkutan dapat memilih lahan yang eblum dimiliki oleh orang lain baik untuk kepentingan perladangan maupun perumahan mereka.
Dalam hal kegiatan ekonomi , sistem pemasaran hasil perladangan di pasarkan secara individu . setiap anggota masyarakat yang ingin menjual hasil usahanya membawa sendiri kepasar terdekat. Baik jumlah maupun jenisnya tergantung pada kemampuan memikul ( malempa) atau mangusung (marrenge), karena jarak antara pemukiman dan kemampuan mereka disesuaikan pada kebutuhan yang akan di belinya.
Dalam hal pembagian kerja dan alokasi waktu dapat di lihat bahwa dalam suku ini peranan dan alokasi waktu kerja antara perempuan dan laki- laki dapat dikatakan sebanding. Kearifan lingkungan dalam kehidupan To Lanbatu dimana mereka mengelola sumberdaya alam melalui sistem perladangan dengan pola perpindahan setiap satu musim tanam atau kali panen. Areal yang diolah berada pada kondisi topografi, rata di atas kelerengan 25 %. Lahan tersebut sangat rapuh sehingga diperlukan suatu tindakan yang mengarah pada pelestarian daya dukung Iahan secara berkesinambungan. Sistem perladangan dengan pola perpindahan tersebut diatas, To Lanbatu mengannggap suatu kearifan. Analogi meraka bahwa dangan hanya memahami satu kali saja berarti secara tidak Iangsung memberi kesempatan pada Iahan tersebut untuk memulihkan dirinya. Sedangkan untuk pengetahuan lokal masyarakat suku To lanbatu mengandalkan alam sebagai tanda untuk pergantian musim dan kejadian – kejadian di sekitar mereka untuk melihat keberhasilan perladangan mereka.
Tugas Individu |
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Sosial RI. 2009. Pola Kerjasama dan Keterpaduan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta
Departemen Sosial RI. 1999. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing. Jakarta
http://bambang-rustanto.blogspot.com/2010/04/interaksi-komunitas-adat.html, di akses pada tanggal 16 Mei 2011 pukul 20.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar